konten 1
konten 2
konten 3

Rabu, 26 September 2012

sahabat rosul



Abdurrahman Bin Auf




Pada suatu hari, kota Madinah sedang aman dan tenteram, terlihat debu tebal yang mengepul ke udara, datang dari tempat ketinggian di pinggir kota; debu itu semakin tinggi bergumpal-gumpai hingga hampir menutup ufuk pengkaungan mata. Anginyang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota, dan berhembus dengan kuatnya di jalan-jalan rayanya.
Orang banyak menyangkanya ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Tetapi kemudian dari balik tirai debu itu segera  mereka dengar suara hiruk pikuk, yang memberi tahu tibanya suatu iringan kafilah besar yang panjang. Tidak lama kemudian, sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya memenuhi jalan-jalan kota Madinah dan menyibukkannya. Orang banyak saling memanggil dan menghimbau menyaksikan keramaian ini serta turut bergembira dan bersukacita dengan datangnya harta dan rizqi yang dibawa kafilah itu.
Ummul Mu’minin Aisyah r.a. demi mendengar suara hiruk pikuk itu ia bertanya: “Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?” Mendapat jawaban, bahwa kafilah Abdurrahman bin Auf barn datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya .  Ummul Mu’minin berkata lagi, “Kafilah yang telah menyebabkan semua kesibukan ini?” mereka menjawab, “Benar, ya Ummal Mu’minin, karena ada 700 kendaraan !” Ummul Mu’minin menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari melayangkan pengkaungnya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat atau ucapan yang pernah didengarnya. Kemudian Aisyah berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda, “Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan!”
Sebagian shahabat menyampaikan ceritera Aisyah kepadanya. Ia pun segera menemui Aisyah untuk menanyakan langsung tentang hadits itu. Aisyah berkata, “benar, aku pernah mendengar rasulullah saw bersabda seperti itu.” Tanpa pikir panjang, ia pun berkata, “Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, ku persembahkan di jalan Allah ‘azza wajalla.”  Maka dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya.
Abdurrahman bin Auf adalah salah seorang dari delapan orang yang dahulu masuk Islam ketika Abu Bakar datang kepadanya menyampaikan Islam, begitu juga kepada Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubedillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Maka tak ada persoalan yang tertutup bagi mereka, dan tak ada keragu-raguan yang menjadi penghalang, bahkan mereka segera pergi bersama Abu Bakar Shiddiq menemui RasuIullah saw. menyatakan bai’at. Dan semenjak keislamannya sampai berpulang menemui Tuhannya dalam umur tujuh puluh lima tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang sebagai Seorang Mu’min yang besar. Hal ini menyebabkan Abdurrahman bin Auf masuk dalam sepuluh orang Yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga.
Dan Umar r.a. mengangkatnya pula sebagai anggota kelompok musyawarah yang berenam yang merupakan calon khalifah yang akan dipilih sebagai penggantinya, seraya katanya: “Rasulullah wafat dalam keadaan ridla kepada mereka!”
Dan sewaktu Nabi saw. memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Nabsyi, Abdurrahman bin Auf ikut berhijrah kemudian kembali lagi ke Mekah, lalu hijrah untuk kedua kalinya ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah. Abdurrahman bin Auf ikut bertempur di perang Badar, Uhud dan peperangan-peperangan lainnya.
Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang sangat luar biasa, hingga katanya, “Sungguh, kulihat diriku, seengkauinya aku mengangkat batu niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak.” Perniagaan bagi Abdurrahman bin Auf r.a. bukan berarti rakus dan loba. Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah itu adalah suatu amal dan tugas kewajibanyang keberhasilannya akan menambah dekatnya jiwa kepada Allah dan berqurban di jalan-Nya.
Dan Abdurrahman bin Auf seorang yang berwatak dinamis, kesenangannya dalam amal yang mulia di mana juga adanya. Apabila ia tidak sedang shalat di mesjid, dan tidak sedang berjihad  dalam  mempertahankan  Agama  tentulah  ia  sedang mengurus perniagaannya yang berkembang pesat, kafilah-kafilahnya membawa ke Madinah dari Mesir dan Syria barang-barang muatan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh jazirah Arab berupa pakaian dan makanan
Dan watak dinamisnya ini terlihat sangat menonjol, ketika Kaum Muslimin hijrah ke Madinah
Rasul pada waktu itu, ketika hijrah ke Madinah  mempersaudarakan dua orang shahabat, salah seorang dari muhajirin warga Mekah dan yang lain dari Anshar penduduk Madinah. Persaudaraan ini mencapai kesempurnaannya dengan cara yang harmonis yang mempesonakan hati. Orang-orang Anshar penduduk Madinah membagi dua seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang muhajirin, sampai-sampai soal rumah tangga.
Ketika itu Rasul yang mulia mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi’, berkatalah Sa’ad kepada Abdurrahman bin Auf, “Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih  separoh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatianmu, akan kuceraikan ia hingga engkau dapat memperisterinya. Abdurrahman bin Auf menjawab, “Semoga Allah memberkati engkau, isteri dan harts engkau. Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga.” Abdurrahman pun pergi ke pasar, dan berjual beli di sana, dan ia pun beroleh keuntungan.
Kehidupan Abdurrahman bin Auf di Madinah baik semasa Rasulullah saw maupun sesudah wafatnya terus meningkat. Barang apa saja yang ia pegang dan dijadikannya pokok perniagaan pasti menguntungkannya. Seluruh usahanya ini ditujukan untuk mencapai ridla Allah semata, sebagai bekal di alam baqa kelak.
Pada suatu hati ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Wahai ibnu ‘Auf! engkau termasuh golongan orang kaya dan engkau akan masuk surga secaraperlahan-lahan . Pinjamknnlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah engkau.
Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyedia kan bagi AIlah pinjaman yang baik, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan berlipat ganda. Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40 ribu dinar, kemudian uang itu dibagi-bagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para isteri Nabi dan untuk kaum fakir miskin.
Diserahkannya pada suatu hari limaratus ekor kuda untuk perlengkapan balatentara islamdan di hari yang lain seribu limaratus kendaraan. Menjelang wafatnya ia berwasiat lima puluh ribu dinar untuk jalan Allah, lain diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar yang masih hidup, masing-masing empat ratus dinar, hingga Utsman bin Affan r.a. yang terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiat itu, serta katanya, “Harta Abdurrahman bin Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkat”.
Pada suatu hari dihidangkan kepadanya makanan untuk berbuka, karena waktu itu ia sedang puasa. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya, tetapi ia pun menangis sambil mengeluh, “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik dariku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka kepalanya.
Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami.”
Pada suatu peristiwa lain sebagian shahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan di hadapan mereka, ia pun menangis; karena itu mereka bertanya, “Apa sebabnya engkau menangis wahai Abu Muhammad?” Ujarnya, “Rasulullah saw. telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan bagi kita?”
Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah, sedikitpun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya .  Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya:
“seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-pelayannya, niscaya ia tak akan sanggup membedakannya dari antara mereka!”
Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan Abdurrahman bin Auf dan jasa-jasanya, misalnya diketahuinya bahwa di badannya terdapat duapuluh bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacad pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya sebagaimana pula beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya . Di waktu itulah orang baru akan menyadari bahwa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka berseri dan kulit halus, pincang serta cadel, sebagai tengkau jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin Auf! Semoga Allah ridha kepadanya dan ia pun ridha kepada Allah  !
Sewaktu jiwa Umar bin Khatthab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih enam orang tokoh dari para shahabat Rasulullah saw. sebagai formatur agar mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang baru.  Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengisyaratkan Abdurrahman bin Auf. Bahkan sebagian shahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah di antara yang enam itu, maka ujamya: “Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih balk ambil pisau lain taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke belakang.”
Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima orang tokoh terkemuka itu. Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang di antara mereka yang berlima, sementara Imam Ali mengatakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, bahwa engkau adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi.” Oleh Abdurrahman bin Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya.
Kematiannya
Dan pada tahun 32 Hijrah, tubuhnya berpisah dengan ruhnya . Ummul Mu’minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain, maka Aisyah menyarankan kepadanya sewaktu ia masih terbaring di ranjang menuju kematian agar ia bersedia dikuburkan di pekarangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar.  Akan tetapi ia memang seorang Muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut.
Selagi  ruhnya  bersiap-siap  memulai  perjalanannya  yang baru, air matanya meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata, “Sesungguhnya  aku khawatir dipisahkan dari shahabat-shahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah.” Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya, satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan sukacita yang memberi cahaya serta kebahagiaan yang menenteramkan jiwa. Ia mengenangkan kebenaran sabda Rasulullah saw.yangpernah beliau ucapkan:  “Abdurrahman bin Auf dalam surga!” Dan ia ingat janji Allah dalam kitab-Nya:
“Orang-orang yang membelanjakan hartanya dijalan Alloh kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafqahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannnya dan tidak pula kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka beroleh pahala di sisi Tuhan mereka; mereka tidak usah merasa takut dan tidak pula berdukacita  !”(Q·S. 2 al-Baqarah: 262)
artikel ini di ambil dar

0 komentar:

Posting Komentar